Karir Akuntansi Stuck dan Terhambat: Pindah Kerja Kemana?

Syauqisubuh- Yang namanya karir mentok (career stuck) dan hambatan karir (career block), bisa terjadi dimana saja, di bidang apapun, termasuk karir akuntansi dan keuangan. Sebenarnya, menurut saya pribadi, tidak ada yang namanya “karir mentok”. Yang ada adalah: kenaikan jabatan yang lambat, pengalaman yang tidak banyak bertambah, pendapatan yang tidak jauh meningkat, SEMENTARA waktu terus berlari.

Dipikir-pikir, ah sama saja. Intinya, khawatir akan pertumbuhan karir yang tidak bisa mengimbangi pertambahan usia, menyisakan satu-satunya pilihan, yaitu: PINDAH KERJA. Pindah kemana? Lewat tulisan ini saya akan berbicara tentang “karir mentok” dan ide jalan keluarnya—khusus untuk karir di bidang akuntansi dan keuangan sektor swasta.

Ya. Khusus untuk akuntan dan pegawai akuntansi/keuangan yang bekerja di perusahaan swasta. Untuk yang di BUMN, apalagi PNS, saya rasa tidak perlu berpikir tentang hal itu—kenaikan pangkat di sektor pemerintah otomatis berjalan seiring waktu, terlepas dari gonjang-ganjing kondisi ekonomi mikro maupun makro.

Sebelum berpikir tentang solusi, saya rasa ada baiknya untuk mengurai pangkal masalah yang menyebabkan, mengapa nyaris semua orang mengalami karir mentok.
 

Apa Yang Menyebabkan Karir Seorang Pegawai Akuntansi (Akuntan) Mentok?

Kira-kira, mengapa tidak semua orang bisa memiliki pertumbuhan karir yang cepat—sebagian besar pegawai accounting dan akuntan, sedikit-banyaknya, pernah merasakan hal yang sama.
Iya. Itu generalisasi yang jauh dari akurat. Sekarang coba kita persempit: mengapa karir seorang staf accounting atau akuntan mentok?

Saya yakin ada begitu banyak kemungkinan aspek yang menjadi penyebabnya. Sebelum berbicara hal-hal yang common-sense, saya ingin mengajak anda untuk menggunakan pemikiran yang paling mendasar (fundamental) terlebih dahulu (nanti baru kita lanjutkan ke hal yang lebih spesifik). Kita mulai dengan pertanyaan….

Pertanyaan-1. Apakah karir seorang akuntan mentok karena dia bodoh?
Jika dia seseorang yang bodoh, tidak mungkin bisa menyelesaikan pendidikan akuntansi (baik D3 atau S1). Terlebih-lebih yang sudah bersertifikat. Untuk lulus ujian akuntan bersertifikat (certified public/management accountant) bukan sesuatu yang bisa dicapai oleh orang yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Bahkan, salah satu kawan saya harus ikut berkali-kali untuk bisa lulus dan memperoleh sertifikat. Tetapi, toh itu tidak menjamin karir seorang akuntan akan meluncur bagaikan roket.

Pertanyaan-2. Apakah karir seorang akuntan mentok karena tidak bekerja di KAP?
Entah di mana (lupa persisnya), saya pernah menemukan satu pernyataan yang mengatakan:
“Akuntan yang bekerja di suatu perusahaan, kemungkinan besar karirnya akan mentok, sebab yang namanya direktur keuangan kan cuma ada satu. Berbeda dengan KAP. Di sini (di KAP) memiliki partner lebih dari satu orang itu, memungkinkan. Logikanya, makin banyak partner, makin banyak klien.”

Note:
Yang dimaksud dengan “perusahaan” pada pernyataan di atas adalah: perusahaan bidang tertentu di luar KAP (manufaktur, dagang, hotel, rumah sakit, kilang minyak, dan seterusnya). Untuk diketahui saja (supaya tidak bingung), para akuntan pada umumnya—entah mengapa—memang sering menyebut “perusahaan” utk badan usaha non-KAP, sementara KAP tidak disebut perusahaan. Sejatinya, KAP (the big four accounting firm sekalipun), juga perusahaan, tepatnya “perusahaan jasa layanan audit dan penyusunan laporan keuangan.” Bahasa kerennya “assurance services” dan “trusted business advisory”—kombinasi jasa layanan audit, kompilasi laporan keuangan, dan perpajakan. Artinya apa?

Dalam menjalankan usaha KAP, pemilik usaha juga mempertimbang profit & loss.

Oke kembali ke statement di atas. Saya setuju dengan logika yang dipakai pada statement tadi, bahwa: Bagi KAP, mempekerjakan banyak partner itu memungkinkan—karena makin banyak partner makin banyak klien.

Tetapi, apakah KAP berani mengangkat partner baru, sementara belum ada klien baru (lebih)? Tentu tidak. Bagaimanapun juga, KAP hanya mangangkat partner baru BILA beban kerja (workload) telah melebihi kapasitas yang ada—entah karena adanya penambahan klien baru dalam jumlah yang relative besar, atau ada assignments yang memang perlu diawasi (overseen) oleh beberapa partner baru. Dengan kata lain, pengangkatan partner baru, hanya dilakukan jika tidak mengurangi perolehan laba mereka.

Baca Juga

Jika anda belum pernah bekerja di luar KAP, rasanya perlu saya sampaikan bahwa: perusahaan non-KAP pun menggunakan pendekatan yang sama (seperti KAP). Dengan kata lain, bila perusahaan (non-KAP) berkembang, merekapun tak segan-segan untuk berekspansi (menambah divisi, cabang baru, anak perusahaan, dst), yang tentunya juga membutuhkan tambahan manajemen baru—staff, supervisor-supervisor, kepala-kepala divisi, kepala-kepala bagian, manajer-manajer, controller, treasurer, termasuk direktur-direktur BARU. Tidak ada bedanya, bukan?

Secara keseluruhan, yang ingin saya tekankan adalah: yang namanya karir mentok, bisa terjadi dimanapun dan tak bisa dihindari. Dalam artian, entah karir anda yang maju sementara orang lain mentok-atau-sebaliknya, tak peduli di KAP atau non-KAP. Tak jauh berbeda. Sebelas-duabelas.
Adakah lembaga dimana semua pegawainya memiliki karir yang melaju pesat? Tidak usah pakai contoh pabrik textile, mungkin di KAP? atau di hotel? Atau perusahaan kilang minyak? Kebun kelapa sawit? Atau BUMN atau di lembaga pemerintah?

Jawabannya, TIDAK ADA. The truth is: Di lembaga manapun (KAP, non-KAP, kantor pajak, BPK, BI, Pertamina, Bank-Bank, dll), yang namanya komposisi perbandingan antara jumlah bawahan dan atasan (junior dan senior, staffs vs managers), selalu membentuk piramida seperti di bawah ini:
 
 
Oke. Katakanlah anda kerja di KAP yang, konon, dijamin tidak akan mentok—suatu saat nanti pasti jadi manajer atau partner. Dari total 20 akuntan, mungkinkah semuanya jadi manajer/partner? Saya rasa tidak. Maksimal 4. Rasio perbandingannya 20:4. Trus ada klien baru, sehingga perlu mengangkat 1 orang partner yang baru diangkat. Tetapi setelah itu disusul dengan rekrutment 5 orang akuntan junior yang membantu sang partner yang baru diangkat. Sehingga sekarang perbandingannya menjadi 25: 5. Begitu seterusnya. Tetap membentuk piramida.

Di perusahaan non-KAP juga begitu. Di perusahaan minyak, sama saja. Di BUMN juga sami mawon. Di hotel juga podo wae.

Artinya apa? Selalu ada orang pilihan—yang jumlahnya sedikit—diantara orang-orang tak terpilih yang jumlahnya banyak. Selalu ada atasan—yang jumlahnya sedikit—diantara bawahan yang jumlahnya lebih banyak.

Jika kita (anda dan saya) ingin menjadi orang yang tepilih, menjadi seorang atasan, kita hanya memiliki 3 pilihan:
Bersabar menunggu giliran sambil menghimpun skill dan kemampuan;
Bersaing keras untuk merebut posisi yang diinginkan; atau
Pindah dan mencari tempat kerja dimana kesempatan utk kita lebih besar.

Untuk mereka yang memeilih bersabar—bertahan di tempat kerja yang sama—sambil menunggu giliran, saya rasa, tak banyak hal yang bisa saya rekomendasikan selain terus bersabar dan menghimpun pengalaman, hingga waktu tiba.

Untuk mereka yang ambisius—memilih merebut ketimbang menunggu giliran, juga tidak banyak yang bisa saya sarankan selain bekerja keras dan pintar-pintar manfaatkan setiap peluang yang ada.

Diantara ketiga kemungkinan pilihan di atas, yang paling masuk akal menurut saya, adalah pindah kerja. Mencari tempat kerja lain dimana kesempatan untuk memperoleh pengalaman, meningkatkan kemampuan, naik jabatan dan naik gaji menjadi lebih besar.

Comments